Charismatik Figure Dalam Partai Politik
Oleh : Jono
Semenjak gelombang reformasi mampu melengserkan kepemimpinan orde baru, terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam panggung politik nasional dan lokal diberbagai bidang sosial dan politik. Salah satunya adalah perubahan sistem kepartaian. Kalau sebelumnya hanya ada tiga partai politik yang berkompetisi dalam setiap pemilunya, maka kini terbuka peluang yang lebih besar dikalangan anak bangsa untuk mendirikan partai politik. Begitupula pada masa Orde Baru (baca: Rezim Soeharto) hanya GOLKAR yang diperbolehkan membangun basis politik di setiap lini atau sampai keranting-ranting, sedang dua kontestan lainnya hanya boleh sampai tingkat kecamatan saja. Namun kini begitu terbuka bagi kehadiran partai politik lain. Perubahan ini memperlihatkan kepada kita adanya heterogenitas politik dibandingkan era sebelumnya. Heterogenitas politik ini disatu sisi disambut dengan kegembiraan sebagai bentuk dari “angin“ keterbukaan yang dapat mendorong demokratisasi dan membawa kehidupan politik yang lebih dinamis, namun disisi lain hal tersebut dinilai pula dengan sikap pesimistik, sebab heterogenitas politik justru (dimungkinkan) membawa persaingan tidak sehat yang dapat menggiring pertikaian sosial tak berkesudahan.
Secara ideal normatif peran dan fungsi utama dari partai politik itu adalah membangun basis kekuatan politiknya dengan massa, atau dengan kata lain melembagakan dukungan politik untuk mendapatkan dan memelihara pendukungnya dalam setiap keikut sertaannya pada pemilu. Selain fungsi itu, partai juga berfungsi sebagai :
Pertama, partai politik harus menjadi representasi kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) di masyarakat. Artinya partai politik harus bisa mengartikulasikan kepentingan mereka kedalam sistem politik dan bertindak sebagai katup penyelamat munculnya keresahan sosial akibat tidak teraktualisasikannya kepentingan mereka sehingga mampu menjamin stabilitas politik.
Kedua, sebagai kelompok mediasi antara pemerintah dan rakyat. Ini berkaitan dengan upaya menggoalkan tuntutan kelompok kepentingan agar digarap pihak eksekutif serta disisi lain mengontrol, menjelaskan dan mendorong demokratisasi, melakukan pendidikan politik, dan menumbuhkan partisipasi politik semakin luas, khususnya dikalangan massa yang tidak aktif atau pasif berpolitik.
Ketiga, berfungsi melakukan pengkaderan politik dan rekruitmen. Proses ini bukan hanya untuk menambah anggota tetapi juga untuk mencetak kader pemimpin baru yang militant dan berkualitas yang tentunya diharapkan membawa kemajuan bagi partai untuk kedepannya.
Kalau kita melihat ketiga fungsi utama dari partai politik di atas tampaknya masih jauh dari harapan yang diidealkan secara normatif. Institusionalisasi demokrasi sampai saat ini masih belum berjalan dikalangan partai politik. Pemujaan atas figur (charismatic figure) masih terlalu dominan sehingga memandulkan kompetisi dan rasionalitas politik dikalangan konstituennya sekalipun partai politik sekarang tampak lebih hidup dibandingkan pada masa orde baru tetapi keberadaannya lebih merepresentasikan kepentingan elite dari pada kepentingan rakyat selaku konstituennya. Betapa tidak partai-partai besar seperti (maaf) PPP, PKB, PAN, DEMOKRAT, PDIP secara langsung maupun tidak, semuanya tak dapat dipisahkan satu sama lainnya bak mobil dengan bensinnya, katakanlah PKB yang begitu besar mendapat dukungan warga nahdiyin itu tak dapat dipisahkan dengan nama besar sang pendiri (GUSDUR) yang merupakan cucu pendiri sebuah faksi islam terbesar di Negri ini, demikian juga PDIP yang kerap diidentikkan dengan ketokohan Megawati dan bahkan Soekarno yang begitu lekat diingatan anak bangsa di negri ini, sehingga dengan kharisma yang dimiliki oleh figur-figur sentral tersebut diatas partai-partai tersebut banyak mendapat simpati dan dukungan dari rakyat, bukan karena program atau kebijakan-
kebijakan yang dapat dijual untuk mensejahterakan rakyat. Partai lain yang masih kental dengan sosok figur sentralnya adalah PAN yang mau tidak mau, suka atau tidak, masih jauh lebih dikenal karena figur Amin Rais yang dikenal sebagai tokoh reformasi negri ini. Begitu selanjutnya dengan partai DEMOKRAT, yang mendapat simpati karena dibalik ketokohan SBY yang konon kala itu, katakanlah kalaupun tidak dianiaya, adalah teraniaya pada saat ia memproklamirkan keinginannya untuk maju dalam bursa pencalonan sebagai Presiden.
Melihat kuatnya ketergantungan beberapa partai terhadap charismatic figur ditubuh masing-masing partai sehingga memandulkan apa yang namanya kreativitas dan kompetisi partai di tingkatan paling bawah, karena hanya mengandalkan dan menjual nama besar sang tokoh.
Peran partai politik tidak lebih sebagai “ Pajangan “ pasca pamilu. Aktivitas politik baru menampakkan gregetnya menjelang dilaksanakannya pemilu. Yang lainnya adalah ketika ada pergantian atau pemilihan pengurus. Diluar kegiatan itu partai politik mengalami kelesuan aktivitas yang kreatif dan bermakna bagi penguatan demokratisasi. Pikiran ini penting dikedepankan agar dinamika partai politik lebih hidup dan semarak sebagai salah satu institusi “ Politik “ atau kelompok kepentingan sudah selayaknya partai politik bersama kelompok kepentingan sosial lainnya secara bersama-sama memikirkan pola alternatif dalam membangun pembaharuan dalam partai politik itu sendiri.
Strategi partai politik dalam pemberdayaan agar partai dapat menjalankan peran yang efektif dan strategis dalam pembaruan dan penguatan basis konstituen maka perlu dilakukan beberapa upaya. Pertama, para aktivist partai politik perlu menyadari bahwa koeksistensi partai politik yang mereka bangun dan berbasis massa. Dengan demikian sudah selayaknya memikirkan kembali keseimbangan peran antara kepentingan partai politik, yang terkadang bias kelompok, dengan kepentingan pembangunan secara luas. Sehingga yang diharapkan ada proses simbiosis mutualistis antara massa yang memberikan akses dukungan suara pemilih dengan partai politik sebagai kekuatan politik. Kedua, perlunya memperbaiki manajemen partai politik di tingkat mikro partai politik perlu menata dirinya kembali caranya adalah dengan membuka diri secara kompetitif dan terbuka akan adanya dinamika dari massa. Membuat aturan main secara lebih rasional, mendorong institusionalisasi politik secara lebih sehat dibandingkan mengedepankan aspek ketokohan. Sehingga partai politik dapat menjalankan perannya secara normatif. Titik tekan disini adalah memulai membangun, menata, dan mengelola, dari lapisan bawah dengan gagasan yang lebih sehat, kreatif, dan inklusif. Sehingga keberadaan partai politik diarus bawah tidak hanya sekedar menjalankan instruksi pusat (elite partai). Tetapi benar-benar berpijak dari basis
gagasannya sendiri yakni aspirasi bagi kemajuan bersama. Ketiga, partai politik perlu menjalin dialog dan kerjasama dengan kekuatan sosial politik lainnya tentang hal-hal yang bersifat strategis dalam konteks demokratisasi dan pembaruan bagi partai politik itu sendiri. Sehingga dari sini ada visi dan misi serta aturan main bersama tentang bagaimana membawa partai politik menatap masa depan untuk meraih cita-cita yang diharapkan. Ketiga upaya diatas perlu didukung oleh perubahan sistem perundangan kepartaian kita. Terutama berkenaan dengan pola hubungan antara partai dengan basis konstituennya secara kritis. Bila tidak dilakukan perubahan secara mendasar, maka suasana partai politik kinerja DPR/D, MPR akan tetap selalu menimbulkan problem yang dapat menghambat demokratisasi dan penyelesaian krisis sosial.
Senin, 26 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar